Subuh ramadhan ini terasa membekukan kaki untuk melangkah menuju
mesjid. Aku benar-benar tidak melangkahkan kaki menuju mesjid kali ini.
Berlama-lama merenung disajdahku seusai sholat subuh. Lemah rasanya persendian
hendak berpindah. Bermanja dengan tuhanku atau mengeluh? Aku ingin lebih lama
pagi ini bersama sajadahku. Tanpa hembus belaian angin pagi, aku betah
berlama-lama tanpa suara hanya sesekali airmataku bergulir. Apa yang menjadi
bebanku? Aku hanya menikmati putaran waktu yang kufikir lambat sekali.
Sebenarnya tidak, hatiku yang lambat berubah nyaman. Lagi-lagi hanya airmata
yang menjadi alat komunikasi ku untuk saat ini.
Mengapa menangis sayang? Tanya ku pada diri sendiri. Gadis biasa
yang terbiasa bercengkrama dengan ibunya harus membuat pilihan rumit. Benarkah
aku harus pergi? Meninggalkan orang-orang yang ku sayang di usia segini. Melepaskan mimpi yang ku impikan demi sebuah
mimpi yang lain yang buram, tak pasti. Ku tarik kotak tisu kesamping sajadahku
mencari teman bersedih dan mengilas balik harapan-harapan. Mimpi-mipiku dimasa
lalu menari-nari dibenakku. Aku ingin sekali menghentikan mereka. Sesekali aku
tersenyum terhadap harapan yang hendak jadi kenyataan, dilain menit aku
menitikkan lagi bulir-bulir bening itu.
Teringat ucapan bibi, “kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi?
Kesempatan ini harus dibiarkan mengabu di riak angin? Cobalah fikirkan,
bertahan disini dengan harapan nol, usia tidak bisa dihentikan!” ucapnya tegas
terngiang tajam jelas dibenakku. Aku terdiam gugu. Bukan tak paham maksud dari
ucapan barusan. Aku terlalu paham malahan. Aku diam dengan segala kepanikan
yang berusaha aku sembunyikan. Aku masih memimpikan kedamaian masa depan
bersama orang-orang yang kusayangi dikotaku. Aku sedang menata mimpi untuk
hidup dan berjuang dimasa depan bersama keluarga kecilku dikota ini. Aku masih
bermimpi tentang impianku melanjutkan studi kejenjang magister, aku
masih melihat impianku menari-nari didepan mata, sangat dekat. Aku ingin
mengukir kisah disini, ibu. Ratap ku lirih setelah mendengar kata-kata tersebut
dilontarkan bibi ku.
Bibiku beralih menanyai ibu, “Apa yang dirisukan?! Disana dia akan
bersama pamannya. Anak gadisnya pun semumuran dengan Rea. Jangan berfikir kolot
kalau ingin maju!” sekali lagi kata-kata tajam itu kali ini membuatku tertunduk
dalam. Berat sekali rasa nya untuk mengangkat kepalaku dan menatap wajah ibuku
yang sedang duduk tepat dihadapanku. Mereka semua sedang menyayangiku, aku tau.
Riak wajah ibu menunjukkan kecemasan dan kesedihan tetapi juga ada harapan
disana. Aku ingin sekali menangis kala itu. Suami bibiku pun berucap, “Anak ku,
disana kamu tidak sendiri, kami akan antar dengan selamat dan pastikan bahwa
kamu aman. Hanya memakan waktu 12 jam perjalanan untuk sampai di Duri.” Aku
memang sedikit berlebihan memikirkan perantauan yang hendak ku tuju akan jadi
sangat jauh. Sebenarnya tidak, Bukittinggi-Duri. Akan kah aku bertemu orang-orang
yang baik disana? Aku terbiasa disayangi
dengan seutuhnya oleh keluargaku, sahabatku, dan masyarakat dilingkunganku. Aku
akan pergi meninggalkan mereka semua. Terutama ibu. Impian kami untuk bersama
berkumpul menjemput usia senja mulai buram. Aku sayang sekali ibu. Beliau
sedang menatapku pilu. Aku tak berani menatapnya berlama-lama kali ini.
Pribadiku yang kuat, ceria, tidak pengeluh, sabar, dan ikhlas
membuat ibu sayang padaku seutuhnya. Aku dapat merasakan bagaimana kasih sayang
ibu terhadapku. Bahkan untuk semua urusan aku bisa mengorbankan jika memang
semua adalah yang terbaik untuk ibu. Aku dan ibu. Keluarga ku yang sederhana
ini membuatku harus berfikir keras tentang menata masa depan. Aku tidak boleh
mengecewakan mereka yang menyayangiku. Aku bahkan mampu mengabaikan perasaan
pribadiku untuk mereka yang kusayangi. Dan sampai pada titik ini, ibu adalah
orang yang paling aku sayangi. Melihatnya menatapku pilu menjadi kesedihan
terdalam olehku, beliau cemas melepaskan ku yang belum pernah berpisah dengan
nya sekalipun. Apalagi sejauh itu. Tapi aku lebih tak tega melihatnya menua
tanpa ada hadiah kehidupan yang ku berikan. Memiliki anak sepertiku sudah
membuatnya bangga. Ia tak pernah segan menggandengku yang untuk saat ini masi
bekerja ditempat yang dibilang biasa saja. Aku bisa saja menjadi bangga dengan
prestasi-prestasiku, tapi satu-satunya kebanggaan ku adalah mengukir senyum
dibibir renta ibu. Ibu tidak pernah mengeluh, hal ini yang membuatku selalu
ingin menghadiahi beliau dengan kehidupan tua yang layak.
“Tuiingg!!” suara hp mengalihkan ku sejenak dari kesedihanku. Itu
pesan bbm. Aku menatap hp yang terletak tak jauh dariku. Bisa dijangkau
oleh tanganku. Baru kali ini aku mengabaikannya lebih dari tiga jam. Hp ku. Aku
pun tersadar. Ternyata waktu berlalu cepat sekali. Siapa itu? Fikirku tak
terlalu menyelidiki. Tidak ada pesan spesial yang ku nantikan. Ada cerita
panjang dibalik semua pengabaianku pada ponsel dan menon-aktifkan nomerku. Aku
malas mengingatnya saat ini. Sekelabat bayangan menyesakkan hati bergentayangan
keruh dalam pandanganku yang tak kokoh. Aku membuka pesan bbm ku. Iren
mengirimiku sebuah pesan singkat biasa yang mampu membuatku tertegun. Re,
dirumah? Aku mampir ya. Aku cepat membalas pesan tersebut. Kapan?
Singkat. Sekarang, ga ada temen nih nungguin Edo di tugu. Hidungku yang
mampet karena kelamaan menangis menghela nafas dalam. Mataku masi tertuju pada
pesan singkat yang terakhir.
Iren adalah teman kampus yang dulunya pernah kos dikotaku semasa
kuliah. Sekarang ia sudah tidak memiliki tempat untuk dituju lagi disini.
Tepatnya tempat yang benar-benar bisa ia singgahi degan luwes. Iren bukanlah
seorang teman dekat, hanya saja kami pernah beberapa kali bertemu diluar karena
kebetulan kawanku Andre adalah sahabat dekatnya. Dan Iren sudah terbiasa
bermain bersama kami. Anak-anak jurusan Bahasa Inggris. Nah, Edo adalah adek
Iren. Aku kurang paham apa yang menjadikan Iren harus menunggu Edo di tugu. Aku
yakin, tugu yang dimaksud adalah tugu yang berada pas di perempat kota di
Bukittinggi. Aku mengenal tempat ini dengan baik. Ada apa dengan mereka berdua?
Setahuku ibu Iren sedang dirawat di sebuah rumah sakit dikota ini. Dengan sigap
aku duduk mengubah posisiku yang sebelumnya sedang berbaring disajadah subuhku.
Aku cepat mengalihkan fikiranku kembali pada pesan yang kubaca. Aku bergumam
pelan. “Mungkin mereka hendak kerumah sakit.”
Menatap keluar jendela, dicuaca yang panas ini, kasihan Iren berada
diluar. Jiwa pahlawanku yang sudah terkenal itu kembali mencuat. Tidak
mempedulikan situasi fisikku sendiri, mata sembam karna menangis lama. Aku balik
membalas pesan tersebut mampir saja, aku ada dirumah, dikamar sendirian
lagi. Cepat setelah menekan tuts “send”, aku bangkit dari
sajadah dan bergegas mengumpulkan tisu yang berserakan banyak. Aku pungut dan
lempar kedalam tong sampah yang terletak disudut meja TV di kamarku. Hampir
penuh, fikirku melihat gulungan tisu-tisu yang penuh oleh air mata dan ingus ku
pagi ini. Aku bergerak malas menuju kamar mandi, tugu itu tak lebih jauh dari
sekedar 10 menit perjalanan dengan motor kecepatan 20 saja. Aku sedikit
bergegas menuju tangga kamarku. Kulihat sekilas Vega, kakaku, sedang menonton
TV bersama adikku. Aku lurus menuju kamar mandi yang berada diujung lorong
setelah dapur tanpa suara. Aku harus mengurangi sembam mata ini, setidaknya
sedikit. Apa yang bisa ku katakan pada Iren, kami tidak dekat. Untuk berbagi
ceritapun aku rasanya tidak bebas. Aku risih untuk terbuka pada Iren. Teman
dari teman kampusku. Ah, kumulai membasuh muka. Brrmmm!! Deru mesin motor Iren,
ucapku. Benar!
“Assalamu’alaikum, Re!” terdengar seiring dengan ketukan pintu khas
tiga kali “Tok, tok, tok!” selang beberapa menit saja, semenit mungkin, setelah
deru motor berhenti. Motor telah dimatikan. Cepat sekali, padahal aku baru saja
masuk kamar mandi. “Reee, temen lo!” teriak Vega, kakakku. “Iya, suruh masuk
dulu! Aku bentar lagi selesai,” jawabku sedikit berteriak. Setelah puas bermain
air diwajahku. Aku keluar. “Maaf Ren, aku lama,” sapaku pada Iren yang telah
menungguku ditangga. Iren tersenyum, “Tak apa, aku dadakan datengnya ya, Re?
Abis ga tau mau kmana panas begini, puasa lagi.” Iren menjelaskan seolah
sungkan. Dalam fikiran Iren mungkin kedatangannya mengganggu tidurku, melihat
aku yang cuci muka kekamar mandi. Kami pun naik ke atas. “Tak apa, apaan sih!”
aku menjawab santai.
“Sebenarnnya aku tadi nangis Ren,” aku memulai lagi pembicaraan. “Lihat
mataku, bengkak, karnanya aku cuci muka. Aku menangis sudah sejak subuh tadi,
untung kamu dateng, berenti kan nih mata nangis. Kasian, cape mereka.” Iren
hanya menatapku yang sedang menjelaskan sambil terus melapkan handuk kewajah.
Iren benar menemukan mataku bengkak dan mulai merasa bersalah dan tak enak
datang disaat seperti ini. “Janji, ga bilang siapa-siapa ya?” ucapku lagi. Iren
menyetujui “Janji.” Aku pun mulai membuka suara, menceritakan perihal lowongan
pekerjaan diduri, daerah pelosok. Aku diambang rasa dilema, menginginkan
pekerjaan tetapi terlalu berbahaya untuk ku seorang gadis yang juga belum
pernah berpisah dari ibu ku untuk jarak yang sedemikian jauhnya. Iren mendengar
ceritaku serius. Ia pun merasakan kecanggunganku yang terlihat jelas dimimik
wajah. Tak bisa ku sembunyikan, sedih karena masalahku dan malu karena menangis
lama. Iren pun menceritakan soal keberadaannya disini yang ternyata benar
menemani ibunya yang dirawat inap karena sakit magh akut yang diderita beliau
sudah sejak lama. Adik yang ditunggunya sedang bertemu orang lain diluar. Ia
bosan menunggu lama. Adiknya ngaret. Kami pun mengahbiskan waktu saling
bercerita. Iren mendengarkan dan memotivasiku agar kuat. “Sesuatu yang untuk
pertama kalinya, memang identik berat untuk dilakukan,” ujar Iren. “Tapi apa
salahnya dicoba dulu, kan tidak ada keharusan yang menyalahi jika nanti lo ga
kuat kan Re? Bisa pulang lagi. Lagian sehari dan masih pulau sumatera, ga jauh
itu.” Iren benar dengan ucapannya. Aku yang awalnya tak berniat bercerita.
Larut dalam curhat panjang dengan Iren. Lucu memang. Keadaan mampu mengubah
semua rencana. Jam pun menunjukkan pukul lima, Iren tersadar kalau dia harus
menyiapkan menu berbuka untuk kakak dan adiknya dirumah sakit. Adik yang
ditunggunya berkilahpergi kerumah sakit sendiri. Kasihan iren, kurus kurang
istirahat. Gadis cantik manja ini terlihat lelah. Semoga kamu bisa Ren. Aku
membatin. “Ibu semoga lekas sembuh ya!” “Amiin, trimakasi Rea, jangan nagis
lagi. Aku pamit ya, udah telat ini.” Ia menaiki speda motornya dan memasang
helm. Aku tersenyum, “Iya. Hati-hati! Salam buat ibu dan kakak ya.” Ia
menangguk dengan senyum khasnya. Cantik. Dan berlalu pergi.
***
“Allahuakbar.... Allahuakbar!” suara muadzin mengumandangkan adzan
magrib terdengar lantang dari rumahku yang berada tidak jauh dari mesjid.
“Alhamdulillah! Kita diberi kesempatan berpuasa penuh,” ucap ibu lembut dengan
senyum khasnya. Dimeja ini kemarin malam semua keluarga berkumpul membahas soal
kerja yang ditawarkan bibi untukku. Sekarang dimeja ini lagi kami berkumpul
berbuka puasa bersama. Kuteguk air putih dan berdo’a. Kuambil sepotong gorengan
dan mulai melahapnya. Keluarga ini begitu hangat dan damai. Meski tanpa sesosok
seorang ayah. Tidak sedikitpun kami kekurangan. Syukurku pada-Mu Rabbi. Aku
menelan kunyahan terakhirku dan berdiri. Ibu telah bangun dari duduk beliau
setelah menghabiskan segelas air putih dan sepotong gorengan. Beliau telah siap
dengan mukenanya hendak kemesjid menunaikan ibadah sholat magrib. Aku pun
berdiri mengambil air wudhu. Ibu menegur, “kemesjid, Re?” “Iya, Bu,” balasku.
Ibu selalu tersenyum menatapku, bagi beliau aku adalah anak yang paling patuh.
Meski keras kepala, beliau tahu bahwa aku sangat memahami aturan hidup yang
beliau tanamkan dalam keluarga. Kami adalah sepasang kekasih yang sudah sangat
saling mengenal.”Yang lain setelah berbuka, sholat dulu!” perintah ibu tertuju
pada mereka yang maish enggan meninggalkan meja makan yang penuh dengan ta’jil.
Aku pun turun dari kamarku, siap untuk menuju mesjid bersama ibu.
Di perjalanan kemesjid, ada pohon jambu yang sedang berbuah lebat.
Ibu seolah berhasil membaca fikiranku yang terpengaruh oleh bahasan kemarin
malam mencoba mengalihkan suasana. Ibu mengambil satu buah jambu yang terjangkau
tangannya. Ia bergumam, “Ini pasti manis”. Ibulah orang pertama yang paling
bersedih melepas kepergianku. Walaupun aku hanya anak yang membantu sedikit
saja pekerjaan rumah, tapi ibu sangat senang belajar banyak hal dari ku,
kata-kataku yang tak terbantahkan, ilmu ku yang selalu aku sebar dirumah.
Kekokohan impianku tentang ingin melanjutkan studi menjadi dosen. Beliau sangat
paham. Prestasiku yang bisa dibilang gemilang. Pergaulanku dengan kawan-kawan
yang luas. Pribadiku yang disayangi oleh masyarakat dirumah. Beliau tahu betapa
aku adalah anak tegar yang berkepribadian satun. Beliau sangat paham bagaimana
kegamanganku tentang meninggalkan kehidupanku yang bahagia menuju daerah yang
sangat asing untukku. Bagi ibu, agama adalah pondasi utama kehidupan. Beliau
tahu aku akan pergi kedaerah yang entah bagaimana kondisi morilnya. Ibu tahu
aku adalah anaknya yang paling lurus dan polos serta tak pandai memutar balik
keadaan. Dilepas sendiri di daerah pelosok nun jauh dari pandangan. Bagaimana
jodohnya nanti, akaknkah pulang lagi? Bagaimana mungkin ia menetap disana?
Anakku sayang. Ibu mencuri-curi menatapku. Kami benar-benar saling menyayangi. Aku
juga sedang menatap ibu ditemaram senja kala itu. Kami tersenyum berat menatap
jambu itu. Suara takbir pertama imam dimesjid memaksa kami mempercepat langkah
kemesjid. Hening.
Dalam sholat berjama’ah kali ini, aku meneteskan air mata teringat
hal yang sama lagi. Ibu yang berada disampingku mmbuatku semakin terguncang.
Beliau pasti lelah, sudah 52 tahun dan masih menanggung beban hidup sendiri.
Aku tidak khusyuk sholat kali ini. Aku terhanyut dalam suasana hati, sulit
bagiku menahan airmata. “Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh....
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh....” Sholatpun berakhir. Ibu mengelap
matanya, aku tau, beliau menangis. Aku pun menangis. Setelah sholat magrib,
kami sholat sunat di shaf yang berbeda. Aku kembali terbawa emosi dan menangis.
Tuhan adakah jalan lain, pilihan ini terlalu berat untukku. Apa aku hambamu
yang tidak bersyukur? Aku ingin jalan yang lain. Bolehkah aku berada tak sejauh
itu? Aku ingin membahagiakan ibu dan membantunya, beliau pun tau aku akan
melakukan yang terbaik itu. Bisakah aku melakukannya tanpa perlu membuatnya
risau. Ia menangis tuhan, Ia menyembunyikan wajahnya. Aku tau. Aku pun
bersembunyi. Rintih do’a ku kala itu. Kutatap ibu yang berada di shaf depan,
beliau sholat dengan lebih khusyu’ dariku. Melihat ibu yang semakin menua,
akupun semakin terenyuh, sedih. Beliau berdo’a dan menitikkan air mata. Aku tahu
itu untukku. Aku tahu. Selang beberapa menit menoleh padaku menanggukkan
kepala, pertanda ajakan pulang. Aku pun tersenyum. Kuanggukkan kepalaku pelan,
kuusap genangan air mata yang hendak menumpah.
Kami berjalan beriringan, jambu kecil tadi dikeluarkan dari saku
beliau, “Manis, Ra!” seraya ibu menyodorkan pada ku setelah membelahnya. “Iya,
Bu?” aku menyambutnya dengan air mate langsung menetes. Ibu hanya menegarkan
dan mencari topik agar kami tidak kaku. Aku menegadah keatas, kulihat langit
tinggi menahan air mata. Ibu tahu aku menangis. Aku melihat kearah lain, “Apa
itu Bu?” tanyaku pelan dengan suara bergetar, menunjuk tumpukan disamping menara
yang setengah jadi. Aku sudah tahu itu tumpukan bata. Ibu berusaha tidak
menatapku karna beliau tahu aku tak menginginkannya. “Itu tumpukan bata yang
akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan menara.” Jawab ibu berusaha datar
dan bertingkah seolah tidak tahu aku menangis. Kuusap lagi air mataku. Rumah
sudah hampir dekat, “Ooh!” jawabku tar bergeming. Air mataku sungguh tumpah.
Ibu mengunyahbuah jambu yang tersisa. Sedemikian sayang beliau terhadapku tak
ingin melihatkan kesedihannya mengenai kepergianku. Aku pun memahami rasa
sayang Ibu. Ku dekati tubuh tua beliau yang sekarang mulai tak sekuat dulu.
Peran yang tidak pernah mengeluh sejak aku berusia 13 tahun sepeninggalan ayah.
Kurangkul bahunya. Aku berbisik dalam hati tegas “Aku pergi ibu, demi ibu dan
adik-adikku. Aku pergi untuk kita.” Seiring tetes air mata yang tersembunyi
dikegelapan malam, aku menguatkan hati. Sunyi.
#tulisan karya Fatimah ini, ditulis untuk menggambarkan
kedekatan ibu dengan sigadis kecilnya yang sudah beranjak remaja. Gadis kecil
yang dulu ia rawat dengan kasih sayang, tumbuh menjadi seorang remaja yang
nanti pasti akan dilepasnya jua. Sayang ibu tidak mengenal waktu, bahkan diusia
anak yang telah dewasa, seorang tetap menyayangi gadisnya sama seperti dulu
semasa gadisnya masih kecil. Pesan moral: dekati ibu, sentuh hatinya
yang lemah dengan kasih sayang. Berusahalah menjadi kekuatannya dalam setiap
keadaan. Tidak ada lagi kebahagiaan seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh
dengan baik dan menyayanginya selayaknya ia mencurahkan kasih sayang tulusnya.
Sampai ketemu lagi di cerita selanjutnya. Hubungi saya di e-mail ibymakino3@gmail.com dan facebook Iby Makino. Motto: do not cheat!! Salam
menulis J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar