Kamis, 02 Juli 2015

Just a Minute: Cerpen "Air Mataku, Ibu"

Just a Minute: Cerpen "Air Mataku, Ibu": Subuh ramadhan ini terasa membekukan kaki untuk melangkah menuju mesjid. Aku benar-benar tidak melangkahkan kaki menuju mesjid kali i...

Just a Minute: Perihal Skripsi Jurusan Bahasa Asing

Just a Minute: Perihal Skripsi Jurusan Bahasa Asing: Process is the main key of success Ada yang tanya, bagaimana caranya biar lancar nulis skripsi bahasa asing sis?? Jawabannya paling pas: ...

Rabu, 01 Juli 2015

Cerpen "Air Mataku, Ibu"




Subuh ramadhan ini terasa membekukan kaki untuk melangkah menuju mesjid. Aku benar-benar tidak melangkahkan kaki menuju mesjid kali ini. Berlama-lama merenung disajdahku seusai sholat subuh. Lemah rasanya persendian hendak berpindah. Bermanja dengan tuhanku atau mengeluh? Aku ingin lebih lama pagi ini bersama sajadahku. Tanpa hembus belaian angin pagi, aku betah berlama-lama tanpa suara hanya sesekali airmataku bergulir. Apa yang menjadi bebanku? Aku hanya menikmati putaran waktu yang kufikir lambat sekali. Sebenarnya tidak, hatiku yang lambat berubah nyaman. Lagi-lagi hanya airmata yang menjadi alat komunikasi ku untuk saat ini.
Mengapa menangis sayang? Tanya ku pada diri sendiri. Gadis biasa yang terbiasa bercengkrama dengan ibunya harus membuat pilihan rumit. Benarkah aku harus pergi? Meninggalkan orang-orang yang ku sayang di usia segini.  Melepaskan mimpi yang ku impikan demi sebuah mimpi yang lain yang buram, tak pasti. Ku tarik kotak tisu kesamping sajadahku mencari teman bersedih dan mengilas balik harapan-harapan. Mimpi-mipiku dimasa lalu menari-nari dibenakku. Aku ingin sekali menghentikan mereka. Sesekali aku tersenyum terhadap harapan yang hendak jadi kenyataan, dilain menit aku menitikkan lagi bulir-bulir bening itu.
Teringat ucapan bibi, “kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Kesempatan ini harus dibiarkan mengabu di riak angin? Cobalah fikirkan, bertahan disini dengan harapan nol, usia tidak bisa dihentikan!” ucapnya tegas terngiang tajam jelas dibenakku. Aku terdiam gugu. Bukan tak paham maksud dari ucapan barusan. Aku terlalu paham malahan. Aku diam dengan segala kepanikan yang berusaha aku sembunyikan. Aku masih memimpikan kedamaian masa depan bersama orang-orang yang kusayangi dikotaku. Aku sedang menata mimpi untuk hidup dan berjuang dimasa depan bersama keluarga kecilku dikota ini. Aku masih bermimpi tentang impianku melanjutkan studi kejenjang magister, aku masih melihat impianku menari-nari didepan mata, sangat dekat. Aku ingin mengukir kisah disini, ibu. Ratap ku lirih setelah mendengar kata-kata tersebut dilontarkan bibi ku.
Bibiku beralih menanyai ibu, “Apa yang dirisukan?! Disana dia akan bersama pamannya. Anak gadisnya pun semumuran dengan Rea. Jangan berfikir kolot kalau ingin maju!” sekali lagi kata-kata tajam itu kali ini membuatku tertunduk dalam. Berat sekali rasa nya untuk mengangkat kepalaku dan menatap wajah ibuku yang sedang duduk tepat dihadapanku. Mereka semua sedang menyayangiku, aku tau. Riak wajah ibu menunjukkan kecemasan dan kesedihan tetapi juga ada harapan disana. Aku ingin sekali menangis kala itu. Suami bibiku pun berucap, “Anak ku, disana kamu tidak sendiri, kami akan antar dengan selamat dan pastikan bahwa kamu aman. Hanya memakan waktu 12 jam perjalanan untuk sampai di Duri.” Aku memang sedikit berlebihan memikirkan perantauan yang hendak ku tuju akan jadi sangat jauh. Sebenarnya tidak, Bukittinggi-Duri. Akan kah aku bertemu orang-orang yang baik disana?  Aku terbiasa disayangi dengan seutuhnya oleh keluargaku, sahabatku, dan masyarakat dilingkunganku. Aku akan pergi meninggalkan mereka semua. Terutama ibu. Impian kami untuk bersama berkumpul menjemput usia senja mulai buram. Aku sayang sekali ibu. Beliau sedang menatapku pilu. Aku tak berani menatapnya berlama-lama kali ini.
Pribadiku yang kuat, ceria, tidak pengeluh, sabar, dan ikhlas membuat ibu sayang padaku seutuhnya. Aku dapat merasakan bagaimana kasih sayang ibu terhadapku. Bahkan untuk semua urusan aku bisa mengorbankan jika memang semua adalah yang terbaik untuk ibu. Aku dan ibu. Keluarga ku yang sederhana ini membuatku harus berfikir keras tentang menata masa depan. Aku tidak boleh mengecewakan mereka yang menyayangiku. Aku bahkan mampu mengabaikan perasaan pribadiku untuk mereka yang kusayangi. Dan sampai pada titik ini, ibu adalah orang yang paling aku sayangi. Melihatnya menatapku pilu menjadi kesedihan terdalam olehku, beliau cemas melepaskan ku yang belum pernah berpisah dengan nya sekalipun. Apalagi sejauh itu. Tapi aku lebih tak tega melihatnya menua tanpa ada hadiah kehidupan yang ku berikan. Memiliki anak sepertiku sudah membuatnya bangga. Ia tak pernah segan menggandengku yang untuk saat ini masi bekerja ditempat yang dibilang biasa saja. Aku bisa saja menjadi bangga dengan prestasi-prestasiku, tapi satu-satunya kebanggaan ku adalah mengukir senyum dibibir renta ibu. Ibu tidak pernah mengeluh, hal ini yang membuatku selalu ingin menghadiahi beliau dengan kehidupan tua yang layak.
“Tuiingg!!” suara hp mengalihkan ku sejenak dari kesedihanku. Itu pesan bbm. Aku menatap hp yang terletak tak jauh dariku. Bisa dijangkau oleh tanganku. Baru kali ini aku mengabaikannya lebih dari tiga jam. Hp ku. Aku pun tersadar. Ternyata waktu berlalu cepat sekali. Siapa itu? Fikirku tak terlalu menyelidiki. Tidak ada pesan spesial yang ku nantikan. Ada cerita panjang dibalik semua pengabaianku pada ponsel dan menon-aktifkan nomerku. Aku malas mengingatnya saat ini. Sekelabat bayangan menyesakkan hati bergentayangan keruh dalam pandanganku yang tak kokoh. Aku membuka pesan bbm ku. Iren mengirimiku sebuah pesan singkat biasa yang mampu membuatku tertegun. Re, dirumah? Aku mampir ya. Aku cepat membalas pesan tersebut. Kapan? Singkat. Sekarang, ga ada temen nih nungguin Edo di tugu. Hidungku yang mampet karena kelamaan menangis menghela nafas dalam. Mataku masi tertuju pada pesan singkat yang terakhir.
Iren adalah teman kampus yang dulunya pernah kos dikotaku semasa kuliah. Sekarang ia sudah tidak memiliki tempat untuk dituju lagi disini. Tepatnya tempat yang benar-benar bisa ia singgahi degan luwes. Iren bukanlah seorang teman dekat, hanya saja kami pernah beberapa kali bertemu diluar karena kebetulan kawanku Andre adalah sahabat dekatnya. Dan Iren sudah terbiasa bermain bersama kami. Anak-anak jurusan Bahasa Inggris. Nah, Edo adalah adek Iren. Aku kurang paham apa yang menjadikan Iren harus menunggu Edo di tugu. Aku yakin, tugu yang dimaksud adalah tugu yang berada pas di perempat kota di Bukittinggi. Aku mengenal tempat ini dengan baik. Ada apa dengan mereka berdua? Setahuku ibu Iren sedang dirawat di sebuah rumah sakit dikota ini. Dengan sigap aku duduk mengubah posisiku yang sebelumnya sedang berbaring disajadah subuhku. Aku cepat mengalihkan fikiranku kembali pada pesan yang kubaca. Aku bergumam pelan. “Mungkin mereka hendak kerumah sakit.”
Menatap keluar jendela, dicuaca yang panas ini, kasihan Iren berada diluar. Jiwa pahlawanku yang sudah terkenal itu kembali mencuat. Tidak mempedulikan situasi fisikku sendiri, mata sembam karna menangis lama. Aku balik membalas pesan tersebut mampir saja, aku ada dirumah, dikamar sendirian lagi. Cepat setelah menekan tuts “send”, aku bangkit dari sajadah dan bergegas mengumpulkan tisu yang berserakan banyak. Aku pungut dan lempar kedalam tong sampah yang terletak disudut meja TV di kamarku. Hampir penuh, fikirku melihat gulungan tisu-tisu yang penuh oleh air mata dan ingus ku pagi ini. Aku bergerak malas menuju kamar mandi, tugu itu tak lebih jauh dari sekedar 10 menit perjalanan dengan motor kecepatan 20 saja. Aku sedikit bergegas menuju tangga kamarku. Kulihat sekilas Vega, kakaku, sedang menonton TV bersama adikku. Aku lurus menuju kamar mandi yang berada diujung lorong setelah dapur tanpa suara. Aku harus mengurangi sembam mata ini, setidaknya sedikit. Apa yang bisa ku katakan pada Iren, kami tidak dekat. Untuk berbagi ceritapun aku rasanya tidak bebas. Aku risih untuk terbuka pada Iren. Teman dari teman kampusku. Ah, kumulai membasuh muka. Brrmmm!! Deru mesin motor Iren, ucapku. Benar!
“Assalamu’alaikum, Re!” terdengar seiring dengan ketukan pintu khas tiga kali “Tok, tok, tok!” selang beberapa menit saja, semenit mungkin, setelah deru motor berhenti. Motor telah dimatikan. Cepat sekali, padahal aku baru saja masuk kamar mandi. “Reee, temen lo!” teriak Vega, kakakku. “Iya, suruh masuk dulu! Aku bentar lagi selesai,” jawabku sedikit berteriak. Setelah puas bermain air diwajahku. Aku keluar. “Maaf Ren, aku lama,” sapaku pada Iren yang telah menungguku ditangga. Iren tersenyum, “Tak apa, aku dadakan datengnya ya, Re? Abis ga tau mau kmana panas begini, puasa lagi.” Iren menjelaskan seolah sungkan. Dalam fikiran Iren mungkin kedatangannya mengganggu tidurku, melihat aku yang cuci muka kekamar mandi. Kami pun naik ke atas. “Tak apa, apaan sih!” aku menjawab santai.
“Sebenarnnya aku tadi nangis Ren,” aku memulai lagi pembicaraan. “Lihat mataku, bengkak, karnanya aku cuci muka. Aku menangis sudah sejak subuh tadi, untung kamu dateng, berenti kan nih mata nangis. Kasian, cape mereka.” Iren hanya menatapku yang sedang menjelaskan sambil terus melapkan handuk kewajah. Iren benar menemukan mataku bengkak dan mulai merasa bersalah dan tak enak datang disaat seperti ini. “Janji, ga bilang siapa-siapa ya?” ucapku lagi. Iren menyetujui “Janji.” Aku pun mulai membuka suara, menceritakan perihal lowongan pekerjaan diduri, daerah pelosok. Aku diambang rasa dilema, menginginkan pekerjaan tetapi terlalu berbahaya untuk ku seorang gadis yang juga belum pernah berpisah dari ibu ku untuk jarak yang sedemikian jauhnya. Iren mendengar ceritaku serius. Ia pun merasakan kecanggunganku yang terlihat jelas dimimik wajah. Tak bisa ku sembunyikan, sedih karena masalahku dan malu karena menangis lama. Iren pun menceritakan soal keberadaannya disini yang ternyata benar menemani ibunya yang dirawat inap karena sakit magh akut yang diderita beliau sudah sejak lama. Adik yang ditunggunya sedang bertemu orang lain diluar. Ia bosan menunggu lama. Adiknya ngaret. Kami pun mengahbiskan waktu saling bercerita. Iren mendengarkan dan memotivasiku agar kuat. “Sesuatu yang untuk pertama kalinya, memang identik berat untuk dilakukan,” ujar Iren. “Tapi apa salahnya dicoba dulu, kan tidak ada keharusan yang menyalahi jika nanti lo ga kuat kan Re? Bisa pulang lagi. Lagian sehari dan masih pulau sumatera, ga jauh itu.” Iren benar dengan ucapannya. Aku yang awalnya tak berniat bercerita. Larut dalam curhat panjang dengan Iren. Lucu memang. Keadaan mampu mengubah semua rencana. Jam pun menunjukkan pukul lima, Iren tersadar kalau dia harus menyiapkan menu berbuka untuk kakak dan adiknya dirumah sakit. Adik yang ditunggunya berkilahpergi kerumah sakit sendiri. Kasihan iren, kurus kurang istirahat. Gadis cantik manja ini terlihat lelah. Semoga kamu bisa Ren. Aku membatin. “Ibu semoga lekas sembuh ya!” “Amiin, trimakasi Rea, jangan nagis lagi. Aku pamit ya, udah telat ini.” Ia menaiki speda motornya dan memasang helm. Aku tersenyum, “Iya. Hati-hati! Salam buat ibu dan kakak ya.” Ia menangguk dengan senyum khasnya. Cantik. Dan berlalu pergi.
***
“Allahuakbar.... Allahuakbar!” suara muadzin mengumandangkan adzan magrib terdengar lantang dari rumahku yang berada tidak jauh dari mesjid. “Alhamdulillah! Kita diberi kesempatan berpuasa penuh,” ucap ibu lembut dengan senyum khasnya. Dimeja ini kemarin malam semua keluarga berkumpul membahas soal kerja yang ditawarkan bibi untukku. Sekarang dimeja ini lagi kami berkumpul berbuka puasa bersama. Kuteguk air putih dan berdo’a. Kuambil sepotong gorengan dan mulai melahapnya. Keluarga ini begitu hangat dan damai. Meski tanpa sesosok seorang ayah. Tidak sedikitpun kami kekurangan. Syukurku pada-Mu Rabbi. Aku menelan kunyahan terakhirku dan berdiri. Ibu telah bangun dari duduk beliau setelah menghabiskan segelas air putih dan sepotong gorengan. Beliau telah siap dengan mukenanya hendak kemesjid menunaikan ibadah sholat magrib. Aku pun berdiri mengambil air wudhu. Ibu menegur, “kemesjid, Re?” “Iya, Bu,” balasku. Ibu selalu tersenyum menatapku, bagi beliau aku adalah anak yang paling patuh. Meski keras kepala, beliau tahu bahwa aku sangat memahami aturan hidup yang beliau tanamkan dalam keluarga. Kami adalah sepasang kekasih yang sudah sangat saling mengenal.”Yang lain setelah berbuka, sholat dulu!” perintah ibu tertuju pada mereka yang maish enggan meninggalkan meja makan yang penuh dengan ta’jil. Aku pun turun dari kamarku, siap untuk menuju mesjid bersama ibu.
Di perjalanan kemesjid, ada pohon jambu yang sedang berbuah lebat. Ibu seolah berhasil membaca fikiranku yang terpengaruh oleh bahasan kemarin malam mencoba mengalihkan suasana. Ibu mengambil satu buah jambu yang terjangkau tangannya. Ia bergumam, “Ini pasti manis”. Ibulah orang pertama yang paling bersedih melepas kepergianku. Walaupun aku hanya anak yang membantu sedikit saja pekerjaan rumah, tapi ibu sangat senang belajar banyak hal dari ku, kata-kataku yang tak terbantahkan, ilmu ku yang selalu aku sebar dirumah. Kekokohan impianku tentang ingin melanjutkan studi menjadi dosen. Beliau sangat paham. Prestasiku yang bisa dibilang gemilang. Pergaulanku dengan kawan-kawan yang luas. Pribadiku yang disayangi oleh masyarakat dirumah. Beliau tahu betapa aku adalah anak tegar yang berkepribadian satun. Beliau sangat paham bagaimana kegamanganku tentang meninggalkan kehidupanku yang bahagia menuju daerah yang sangat asing untukku. Bagi ibu, agama adalah pondasi utama kehidupan. Beliau tahu aku akan pergi kedaerah yang entah bagaimana kondisi morilnya. Ibu tahu aku adalah anaknya yang paling lurus dan polos serta tak pandai memutar balik keadaan. Dilepas sendiri di daerah pelosok nun jauh dari pandangan. Bagaimana jodohnya nanti, akaknkah pulang lagi? Bagaimana mungkin ia menetap disana? Anakku sayang. Ibu mencuri-curi menatapku. Kami benar-benar saling menyayangi. Aku juga sedang menatap ibu ditemaram senja kala itu. Kami tersenyum berat menatap jambu itu. Suara takbir pertama imam dimesjid memaksa kami mempercepat langkah kemesjid. Hening.
Dalam sholat berjama’ah kali ini, aku meneteskan air mata teringat hal yang sama lagi. Ibu yang berada disampingku mmbuatku semakin terguncang. Beliau pasti lelah, sudah 52 tahun dan masih menanggung beban hidup sendiri. Aku tidak khusyuk sholat kali ini. Aku terhanyut dalam suasana hati, sulit bagiku menahan airmata. “Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.... Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh....” Sholatpun berakhir. Ibu mengelap matanya, aku tau, beliau menangis. Aku pun menangis. Setelah sholat magrib, kami sholat sunat di shaf yang berbeda. Aku kembali terbawa emosi dan menangis. Tuhan adakah jalan lain, pilihan ini terlalu berat untukku. Apa aku hambamu yang tidak bersyukur? Aku ingin jalan yang lain. Bolehkah aku berada tak sejauh itu? Aku ingin membahagiakan ibu dan membantunya, beliau pun tau aku akan melakukan yang terbaik itu. Bisakah aku melakukannya tanpa perlu membuatnya risau. Ia menangis tuhan, Ia menyembunyikan wajahnya. Aku tau. Aku pun bersembunyi. Rintih do’a ku kala itu. Kutatap ibu yang berada di shaf depan, beliau sholat dengan lebih khusyu’ dariku. Melihat ibu yang semakin menua, akupun semakin terenyuh, sedih. Beliau berdo’a dan menitikkan air mata. Aku tahu itu untukku. Aku tahu. Selang beberapa menit menoleh padaku menanggukkan kepala, pertanda ajakan pulang. Aku pun tersenyum. Kuanggukkan kepalaku pelan, kuusap genangan air mata yang hendak menumpah.
Kami berjalan beriringan, jambu kecil tadi dikeluarkan dari saku beliau, “Manis, Ra!” seraya ibu menyodorkan pada ku setelah membelahnya. “Iya, Bu?” aku menyambutnya dengan air mate langsung menetes. Ibu hanya menegarkan dan mencari topik agar kami tidak kaku. Aku menegadah keatas, kulihat langit tinggi menahan air mata. Ibu tahu aku menangis. Aku melihat kearah lain, “Apa itu Bu?” tanyaku pelan dengan suara bergetar, menunjuk tumpukan disamping menara yang setengah jadi. Aku sudah tahu itu tumpukan bata. Ibu berusaha tidak menatapku karna beliau tahu aku tak menginginkannya. “Itu tumpukan bata yang akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan menara.” Jawab ibu berusaha datar dan bertingkah seolah tidak tahu aku menangis. Kuusap lagi air mataku. Rumah sudah hampir dekat, “Ooh!” jawabku tar bergeming. Air mataku sungguh tumpah. Ibu mengunyahbuah jambu yang tersisa. Sedemikian sayang beliau terhadapku tak ingin melihatkan kesedihannya mengenai kepergianku. Aku pun memahami rasa sayang Ibu. Ku dekati tubuh tua beliau yang sekarang mulai tak sekuat dulu. Peran yang tidak pernah mengeluh sejak aku berusia 13 tahun sepeninggalan ayah. Kurangkul bahunya. Aku berbisik dalam hati tegas “Aku pergi ibu, demi ibu dan adik-adikku. Aku pergi untuk kita.” Seiring tetes air mata yang tersembunyi dikegelapan malam, aku menguatkan hati. Sunyi.
#tulisan karya Fatimah ini, ditulis untuk menggambarkan kedekatan ibu dengan sigadis kecilnya yang sudah beranjak remaja. Gadis kecil yang dulu ia rawat dengan kasih sayang, tumbuh menjadi seorang remaja yang nanti pasti akan dilepasnya jua. Sayang ibu tidak mengenal waktu, bahkan diusia anak yang telah dewasa, seorang tetap menyayangi gadisnya sama seperti dulu semasa gadisnya masih kecil. Pesan moral: dekati ibu, sentuh hatinya yang lemah dengan kasih sayang. Berusahalah menjadi kekuatannya dalam setiap keadaan. Tidak ada lagi kebahagiaan seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh dengan baik dan menyayanginya selayaknya ia mencurahkan kasih sayang tulusnya. Sampai ketemu lagi di cerita selanjutnya. Hubungi saya di e-mail ibymakino3@gmail.com dan facebook Iby Makino. Motto: do not cheat!! Salam menulis J.