Negaraku
Memang Masih Miskin
Hanya ingin menulis,
maafkan..
Negara ku sayang,
seperti inilah miris nya sebuah hati. Dinegara yang berbasa-basi, pembunuhan
karakter yang semakin menjadi-jadi, para penjunjung tinggi reputasi yang
menjadi pemenang. Seorang seperti ini saya, seorang gadis biasa yang
terseok-seok menjalani proses kehidupan. Yang selalu tersenyum dengan segala
kenyataan. Yang tidak pernah menuntut akan janji. Saya ingin menuliskan pesan ini.
Saya memang seorang
yang lebih banyak menganalisa. Saya terlalu kritis dan sesekali keterlaluan
mengartikan sebuah teori. Saya mempercayai buku-buku dan kutipan-kutipan orang
hebat. Yang sering membuat miris hati adalah tidak bisa tersampaikan pemikiran
orang yang kerdil ini.
Perjalanan saya tidak
terlalu penting dilirik, prestasi saya pun tak bisa diangkatkan. Kecuali selama
saya menyandang status sebagai seorang siswa. Saya setipe siswa yang bukan
penghapal, Logika pun berjalan lebih mengerikan dari seharusnya di negri
beradat ini. Selagi kamu benar, sendirian, maka kamu mati, musnah, tentanglah
kebenaran tersebut untuk bertahan, untuk hidup. Maka hati pun tenggelam,
perlahan.
Basa basi itu kejam.
Bagi saya yang perlahan berubah jadi sosok pendiam ini, bukan karena sesuatu
mengubah saya, hanya saja teori-teori yang terbaca membuat saya ingin berhenti
sejenak, mengurang-ngurangi kesalahan dari mulut besar yang senang menganalisa.
Saya bukan lah gadis pintar tapi saya luar biasa. Seperti itulah kehidupan sekitar
menilai saya. Mereka yang terpikat oleh tampilan luar. Kehidupan sederhana, yang
dimata mereka, penguntit, saya luar biasa. Basa-basi terkadang sulit untuk saya
utarakan, karena teori yang saya selalu dan selalu analisa membuat saya jengah
memuja. Kutipan-kutipan Orang hebat yang saya baca hampir setiap harinya,
membuat saya berfikir tidak perlu memuji, tidak usah berbohong. Lakukan apa
yang kamu ingin lakukan. Jadilah diri sendiri. Lakukan kesalahan pada tak
seorang pun. Saya pun terfokus pada kehidupan saya. Hanya hidup saya dan orang
orang yang saya sayangi.
Dinegara maju, kehidupan
tak dibangun dari basa-basi. Berhubung saya adalah mahasiswa jurusan Bahasa
Inggris, bahkan teman bule saya pun menjalani kehidupan idealis. Mereka Cuma
berpegang teguh pada satu perumpamaan “berpeganglah pada suatu yang benar”,
cukup itu saja. Kata-kata ini sesungguhnya meng-cover semua kebaikan. Tidak ada
hati yang membenarkan sesuatu yang salah kecuali hanya kebohongan mulut demi
menjaga eksistensi dan reputasi palsu. Saya pun mulai menganalisa lagi, benar.
Kebenaran adalah satu-satunya yang perlu dipercayai dalam hidup. Begitulah
teori-teori yang dipercayai benar dan selalu saya pelajari dibangku sekolah.
Mengapa
mereka maju dan kami tidak maju? Para orang yang
berpegang pada teori-teori kebenaran yang terkadang sudah dibukukan serta
memiliki copy beribu-ribu eksemplar. Karena saya mempelajari ilmu bahasa asing,
saya pun mulai mengartikan quotes para ilmuan asing, para motivator asing, para
public figure asing. Kebiasaan ini
menjadikan saya selalu dan selalu menganalisa dan berubah bungkam.
Saya setuju dengan
mereka, pelajaran yang saya dapatkan di bangku sekolah pun membuktikan kalau
perkataan orang asing ini memang sempurna. Mereka berkata-kata pada titik tolak
yang sempurna. Tidak terbantahkan. Saya selalu memiliki keyakinan. Terkagum
bukanlah hal murahan yang dengan mudah terlontar dari mulut saya. Saya tidak
suka memuji, entahlah. Kebiasaan saya melihat kesempurnaan dan kebenaran teori
membuat saya berkarakter sombong. Untuk mereka, pemuja basa basi. Saya,
sombongkah? Lihatlah bagaimana saya hidup, bahkan bersekolahpun saya tidak
menjunjung tinggi kemewahan. Saya tidak lah sosok yang bisa ber-boros karena
saya hidup dalam kesederhanaan di sebuah desa. Disebuah desa saja. Hanya saja,
saya selalu menganalisa teori.
Apa
yang salah?
Saya mulai merintih
ketika pendidikan itu usai. Saya mulai menangis saat saya tidak lagi dipanggil
sebagai siswa. Saya mulai berteriak pilu ketika saya tidak lagi keluar rumah
untuk bersekolah. Saya menyukai belajar, bukan menghapal teori, saya yang
pelupa, saya yang payah dalam menghapal. Otak saya dangkal. Bahkan untuk
mengingat sesuatu baik itu nama orang yang saya temui, tempat yang pernah saya
kunjungi, novel-novel yang pernah saya baca, buku-buku yang saya punya,
film-film yang pernah saya tonton, saya lemah, sering terlupa. Saya tidak ingat
nama para motivator yang saya kagumi, salahkah saya yang hanya menyukai
belajar? Saya kagum mereka yang bisa mengeluarkan teori, saya kagum dengan
mereka yang bisa menjadikan orang lain manusia. Hanya masalahnya, saya sulit
mengingat dengan baik sesuatu secara rinci.
Tidak satu dua tiga
orang pintar dinegara saya dihina. Mereka tidak mampu menjaga eksistensinya
dinegara basa-basi. Orang pintar yang dielu-elukan dimasa sekolah, adalah
raja-raja sekolahan. Saya masih ingat bagaimana teman saya yang menjadi para
jawara disayangi, saya msih ingat bagaimana para penggores prestasi dikenal.
Saya masih ingat bagaimana orang pintar namanya berulang-ulang dielu. Dimana?
Disekolah. Hidup sependek itu kah dinegara kami?
Saya
ingin menuliskannya dalam sebuah simpulan untuk para raja sekolahan yang sedang
bermimpi tinggi.
Sebenarnya
bukan saya yang salah, tapi tempat saya beradalah yang salah.
Yet,
it’s not my mistake, but the wrong place takes.
Teruslah bermimpi
tinggi, tidak boleh layu sebelum bersemi. Tebarkan benih-benih pintarmu untuk mimpi
kehidupan yang lebih baik yg pasti jadi kenyataan jika terus melakukan,
ditempat ini. Tempat mu berdiri. Memulai perbaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar