Sabtu, 31 Januari 2015

Pembunuhan Karakter

Negaraku Memang Masih Miskin
Hanya ingin menulis, maafkan..
Negara ku sayang, seperti inilah miris nya sebuah hati. Dinegara yang berbasa-basi, pembunuhan karakter yang semakin menjadi-jadi, para penjunjung tinggi reputasi yang menjadi pemenang. Seorang seperti ini saya, seorang gadis biasa yang terseok-seok menjalani proses kehidupan. Yang selalu tersenyum dengan segala kenyataan. Yang tidak pernah menuntut akan janji. Saya ingin menuliskan pesan ini.
Saya memang seorang yang lebih banyak menganalisa. Saya terlalu kritis dan sesekali keterlaluan mengartikan sebuah teori. Saya mempercayai buku-buku dan kutipan-kutipan orang hebat. Yang sering membuat miris hati adalah tidak bisa tersampaikan pemikiran orang yang kerdil ini.
Perjalanan saya tidak terlalu penting dilirik, prestasi saya pun tak bisa diangkatkan. Kecuali selama saya menyandang status sebagai seorang siswa. Saya setipe siswa yang bukan penghapal, Logika pun berjalan lebih mengerikan dari seharusnya di negri beradat ini. Selagi kamu benar, sendirian, maka kamu mati, musnah, tentanglah kebenaran tersebut untuk bertahan, untuk hidup. Maka hati pun tenggelam, perlahan.
Basa basi itu kejam. Bagi saya yang perlahan berubah jadi sosok pendiam ini, bukan karena sesuatu mengubah saya, hanya saja teori-teori yang terbaca membuat saya ingin berhenti sejenak, mengurang-ngurangi kesalahan dari mulut besar yang senang menganalisa. Saya bukan lah gadis pintar tapi saya luar biasa. Seperti itulah kehidupan sekitar menilai saya. Mereka yang terpikat oleh tampilan luar. Kehidupan sederhana, yang dimata mereka, penguntit, saya luar biasa. Basa-basi terkadang sulit untuk saya utarakan, karena teori yang saya selalu dan selalu analisa membuat saya jengah memuja. Kutipan-kutipan Orang hebat yang saya baca hampir setiap harinya, membuat saya berfikir tidak perlu memuji, tidak usah berbohong. Lakukan apa yang kamu ingin lakukan. Jadilah diri sendiri. Lakukan kesalahan pada tak seorang pun. Saya pun terfokus pada kehidupan saya. Hanya hidup saya dan orang orang yang saya sayangi.
Dinegara maju, kehidupan tak dibangun dari basa-basi. Berhubung saya adalah mahasiswa jurusan Bahasa Inggris, bahkan teman bule saya pun menjalani kehidupan idealis. Mereka Cuma berpegang teguh pada satu perumpamaan “berpeganglah pada suatu yang benar”, cukup itu saja. Kata-kata ini sesungguhnya meng-cover semua kebaikan. Tidak ada hati yang membenarkan sesuatu yang salah kecuali hanya kebohongan mulut demi menjaga eksistensi dan reputasi palsu. Saya pun mulai menganalisa lagi, benar. Kebenaran adalah satu-satunya yang perlu dipercayai dalam hidup. Begitulah teori-teori yang dipercayai benar dan selalu saya pelajari dibangku sekolah.
Mengapa mereka maju dan kami tidak maju? Para orang yang berpegang pada teori-teori kebenaran yang terkadang sudah dibukukan serta memiliki copy beribu-ribu eksemplar. Karena saya mempelajari ilmu bahasa asing, saya pun mulai mengartikan quotes para ilmuan asing, para motivator asing, para public figure asing. Kebiasaan ini menjadikan saya selalu dan selalu menganalisa dan berubah bungkam.
Saya setuju dengan mereka, pelajaran yang saya dapatkan di bangku sekolah pun membuktikan kalau perkataan orang asing ini memang sempurna. Mereka berkata-kata pada titik tolak yang sempurna. Tidak terbantahkan. Saya selalu memiliki keyakinan. Terkagum bukanlah hal murahan yang dengan mudah terlontar dari mulut saya. Saya tidak suka memuji, entahlah. Kebiasaan saya melihat kesempurnaan dan kebenaran teori membuat saya berkarakter sombong. Untuk mereka, pemuja basa basi. Saya, sombongkah? Lihatlah bagaimana saya hidup, bahkan bersekolahpun saya tidak menjunjung tinggi kemewahan. Saya tidak lah sosok yang bisa ber-boros karena saya hidup dalam kesederhanaan di sebuah desa. Disebuah desa saja. Hanya saja, saya selalu menganalisa teori.
Apa yang salah?
Saya mulai merintih ketika pendidikan itu usai. Saya mulai menangis saat saya tidak lagi dipanggil sebagai siswa. Saya mulai berteriak pilu ketika saya tidak lagi keluar rumah untuk bersekolah. Saya menyukai belajar, bukan menghapal teori, saya yang pelupa, saya yang payah dalam menghapal. Otak saya dangkal. Bahkan untuk mengingat sesuatu baik itu nama orang yang saya temui, tempat yang pernah saya kunjungi, novel-novel yang pernah saya baca, buku-buku yang saya punya, film-film yang pernah saya tonton, saya lemah, sering terlupa. Saya tidak ingat nama para motivator yang saya kagumi, salahkah saya yang hanya menyukai belajar? Saya kagum mereka yang bisa mengeluarkan teori, saya kagum dengan mereka yang bisa menjadikan orang lain manusia. Hanya masalahnya, saya sulit mengingat dengan baik sesuatu secara rinci.
Tidak satu dua tiga orang pintar dinegara saya dihina. Mereka tidak mampu menjaga eksistensinya dinegara basa-basi. Orang pintar yang dielu-elukan dimasa sekolah, adalah raja-raja sekolahan. Saya masih ingat bagaimana teman saya yang menjadi para jawara disayangi, saya msih ingat bagaimana para penggores prestasi dikenal. Saya masih ingat bagaimana orang pintar namanya berulang-ulang dielu. Dimana? Disekolah. Hidup sependek itu kah dinegara kami?
Saya ingin menuliskannya dalam sebuah simpulan untuk para raja sekolahan yang sedang bermimpi tinggi.
Sebenarnya bukan saya yang salah, tapi tempat saya beradalah yang salah.
Yet, it’s not my mistake, but the wrong place takes.
Teruslah bermimpi tinggi, tidak boleh layu sebelum bersemi. Tebarkan benih-benih pintarmu untuk mimpi kehidupan yang lebih baik yg pasti jadi kenyataan jika terus melakukan, ditempat ini. Tempat mu berdiri. Memulai perbaikan.